Tanggal 15 Juli 1945 diruangan gedung Chuo Sangi In yang terletak di Jalan Pejambon Jakarta berlangsung perdebatan panas. Saat itu berkumpul sekitar 62 orang anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Mereka sedang berembuk tentang apa dan bagaimana negara yang ingin mereka dirikan. Suhu udara sidang lanjutan yang berlangsung sejak pukul 15.10 tersebut tidak melunturkan semangat bicara mereka. Terutama bagi dua orang anggota yang bernama A.R Baswedan dan Liem Koen Hian. Keduanya meradang akibat  pasal 26 dalam Rencana Undang-Undang Dasar yang sedang disusun.  Dalam pasal tersebut secara nyata dibedakan antara warga negara aseli dan bukan aseli, dan kedua anggota BPUPKI tersebut merasa terhina karena tidak dimasukan dalam katagori warga negara dari suatu bangsa yang hendak didirikan. Mereka merasa sebagai bangsa Indonesia walau menyandang nama asing. Karena sidang tetap mengesahkan ketentuan pasal tersebut maka esok harinya Liem Koen Hian membuat surat pengunduran diri dari keanggotaan BPUPKI. Katanya “ Dengan diterima baiknya Bab IX pasal 26 dari rancangan oendang oendang dasar, maka status dari saya dan orang yang bukan bangsa Indonesia aseli adalah status dari orang asing ………….. dan sebagai itu tidak selayaknya saya turut duduk dalam BPUPKI ……”

Kerawanan pasal 26 tersebut sebetulnya sudah terbaca oleh Mr Sartono anggota BPUPKI yang membidangi Rancangan Hukum Dasar. Pada sidang tanggal 11 Juli, sewaktu pimpinan sidang Ir Soekarno berucap : sekarang kita bicara soal kewarganegaraan !” Satu-satunya anggota yang menanggapi masalah ini hanya Sartono dengan mengucapkan “Ini soal penting sekali sebab ini yang dinanti nantikan oleh golongan peranakan dan golongan lain ……” Tampaknya Sartono ingin menganalogkan kewarganegaraan dengan kebijakan partai Gerindo. Partai dimana ia pernah duduk sebagai salah satu pimpinannya. Gerindo adalah partai yang pertama menerima para golongan keturunan asing sebagai anggota penuh, dan menganggap semua orang yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia. Mereka adalah warga negara aseli.

Konsep Sartono/Gerindo ini tidak dapat terujud. Orang keturunan asing tetap dianggap sebagai “Bukan Aseli” sehingga mereka yang ingin menjadi Presiden RI harus menanggalkan cita-citanya. Istilah “Warga Negara Aseli” dibiarkan menggelantung tanpa kepastian. Dalam Penataran P4 waktu dulu selalu dikatakan bahwa yang disebut “Aseli” atau bukan tergantung pada pengakuan masyarakat. Celakanya lagi secara legal setiap kelahiran anak bangsa ini sudah disekat oleh diskriminasi primordial. Hal ini tampak jelas dalam Catatan Sipil tentang kelahiran seorang anak. Apabila seorang WNI keturunan Tionghoa melahirkan , maka  anaknya tersebut akan dicatat sebagai seorang WNI berdasarkan Staatblad 1917, yaitu catatan khusus untuk golongan Tionghoa. Dengan demikian setiap anak yang  menunjukkan akte kelahirannya  dengan mudah dapat diidentifikasi kelompok primordial mana mereka berasal. Kalau tercatat berdasarkan Staatblad 1920, menunjukkan mereka berasal dari bumiputera beragama Islam. Sedang staatblad 1933 khusus bagi orang Bumiputera yang beragama Kristen.

Cita cita AR Baswedan, Liem Koen Hian, dan Sartono agak terobati dengan lahirnya Undang-Undang Kewarganegaraan no 12 tahun 2006. Enam puluh satu tahun sejak ketiga tokoh pejuang kemerdekaan itu bicara. Dalam undang undang tersebut sudah diberi batasan yang tegas bahwa yang disebut WNI aseli adalah WNI yang sejak lahir sudah menyandang kewarganegaraan Indonesia. Tetapi pencatatan sipil yang membeda-bedakan kelahiran anak dengan sekat primordial, sepengetahuan saya tetap berlangsung. Apakah ketentuan tentang kewarganegaraan dalam UUD 45 merupakan suatu “Kecelakaan Sejarah” ? Kita tidak perlu mempersoalkan itu, yang penting pemerintah segera membuat langkah-langkah strategis untuk menghilangkan sifat-sifat diskriminatif dalam peraturan/perundang-undangan, seperti yang tampak pada ketentuan dalam catatan sipil tersebut diatas.

Salam

Daradjadi